Oleh: Akram Syahid Mas’ud
JAM telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Amin sampai di depan
rumahnya. Hari ini ia pulang terlambat karena ada pekerjaan yang harus
ia tuntaskan malam ini juga.
Rumahnya tampak sudah sepi dan terkunci rapat. Lampu di ruang tamu
juga sudah dimatikan. Pertanda penghuninya sudah istirahat malam. Tidak
ingin mengganggu siapapun, Amin turun dari mobil dan segera membuka
pintu pagar. Ia selalu membawa kunci pintu pagar dan juga kunci pintu
rumah ketika bepergian. Bunyi pagar berderit ketika didorong. Perlahan
ia masukkan kendaraan, dan kembali mengunci pintu pagarnya. Tak lama
kemudian ia membuka pintu rumah.
“Assalaamu’alaikum…!” Ucapnya lirih saat memasuki rumah. Tak ada
orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah
tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikirnya. Melewati
ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas,
ponsel dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu, barulah ia menuju
kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang terbangun.
Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur.
Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur
istrinya. Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari
kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya
dalam-dalam wajah Aminah, istrinya.
Amin segera teringat perkataan almarhum kakeknya, dulu sebelum dia
menikah. Kakeknya mengatakan, “Jika kamu sudah menikah nanti, jangan
berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu. Karena kamupun
juga tidak sama persis dengan maunya. Jangan pula berharap mempunyai
istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah
dua orang yang berbeda. Bukan untuk disamakan tapi untuk saling
melengkapi. Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu
merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, maka
lihatlah ketika istrimu tidur.”
“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat.
Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud kakeknya, tapi ia
tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk
membuktikannya sendiri.
Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia menatap wajah
istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin
membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur
benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa
ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari
kalbu. Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa
sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi
yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
Dalam batin, dia bergumam, “Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis
yang leluasa beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan
kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban
yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan
banyak aturan. Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan
tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk
aku dan anak-anakku.
“Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa
beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus
keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku. Kau
relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau
ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala
atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk
menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.
“Wahai istriku, dikala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit,
kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau
penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau
penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau
yang menasehatiku.
“Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu
membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa aku
harus kecewa padamu? Dengan alasan apa aku perlu marah padamu? Andai kau
punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk
membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah
imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan
karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu
bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan
malaikat.
“Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan.
Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga
berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah swt.
Segala puji hanya untuk Allah swt yang telah memberikanmu sebagai
jodohku.”
Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya
terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya
pelan-pelan. Tak lama kemudian iapun terlelap.
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah, istri Amin, terperanjat kaget.
“Astaghfirullaah, sudah jam dua?” Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya.
Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku
benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan
apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati. Mau dibangunkan nggak tega,
akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa
getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata, hanya hatinya yang bicara.
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah
yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku.
Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab
kupikulkan di pundakmu.
“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku
lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu
untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin
melindungiku.
“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak
kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah
yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa
memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.
“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan
apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu
hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da’i
dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku.
Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah
membahagiakanku.
“Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu
menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah swt. Aku akan
patuh kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..” []
islampost.